![]() |
Di antara cerita yang menarik untuk diangkat tentang dua pasangan ini, bagaimana proses komunikasi yang mereka lakukan. Sudut pandang yang menelaah komunikator dan pesan dalam setiap proses yang berlansung dianggap perlu. Sebagai referensi melihat kelebihan dan kelemahan masing-masing kubu calon, mengenal psikologis komunikasi kepemimpinan mereka, yang jelas nantinya akan menentukan gaya kepemimpinan dan menjalankan pemerintahan bila terpilih.
Beda Tapi Sama
Kita sudah disuguhkan informasi lewat media massa tentang proses komunikasi kedua kubu capres dan cawapres sejauh ini. Sehingga bisa dipakai untuk membuat asumsi dini tentang bagaimana karakter politik yang diperagakan masing-masing kubu. Menariknya, meski berbeda segi pendekatan komunikasi yang ditempuh saat menggalang dukungan dan memperlakukan koalisi, kedua pasang calon berangkat dari pelajaran yang sama, yakni pengalaman pemerintahan sebelumnya.
Kubu PDI-P dengan duet Jokowi-Kalla sejak awal terus mengakrabkan istilah “koalisi tanpa syarat” ke tengah masyarakat saat menggalang dukungan dari Nasdem, PKB kemudian disusul Hanura. Sebuah istilah “aneh” di dunia politik yang identik transaksional. Sikap ini punya makna secara psikologis. Kubu PDI-P tampaknya memperlihatkan bahwa mereka belajar banyak dari dua periode pemerintahan SBY. Gemuknya koalisi.
Kubu PDI-P dengan duet Jokowi-Kalla sejak awal terus mengakrabkan istilah “koalisi tanpa syarat” ke tengah masyarakat saat menggalang dukungan dari Nasdem, PKB kemudian disusul Hanura. Sebuah istilah “aneh” di dunia politik yang identik transaksional. Sikap ini punya makna secara psikologis. Kubu PDI-P tampaknya memperlihatkan bahwa mereka belajar banyak dari dua periode pemerintahan SBY. Gemuknya koalisi.
Lain halnya poros Prabowo-Hatta. Sikap ramah berembuk dengan koalisi, sekilas mengesankan poros ini bakal mengulangi gaya koalisi yang pernah digalang SBY dan Demokrat. Prabowo yang dikesankan tegas, bahkan esktrim justru extrovert. Momen bergabungnya Golkar adalah bukti.
Presiden SBY memang dikenal sebagai pribadi terbuka dan selalu berupaya mencapai konsensus. Sikap ini dipandang banyak pihak terlalu lembek daripada partai yang dipimpinnya. Ini celah Presiden SBY. Sikap terlalu terbuka terhadap konsensus justru menjebak Presiden SBY.
Bagi Prabowo dilematis. Di satu sisi Prabowo sadar membuka konsensus bisa berujung jatuh di lubang yang sama. Namun di sisi lain, negatifnya justru lebih banyak bila menutup pintu. Maka ketika Prabowo menyepakati dari sejumlah partai koalisi, semisal PKS yang memasukkan klausul pelibatan dalam pengambilan setiap keputusan, cukup mengejutkan. Mengingat tipikalnya yang keras, tegas, ekstrim dan minim ruang kompromi.
Presiden SBY memang dikenal sebagai pribadi terbuka dan selalu berupaya mencapai konsensus. Sikap ini dipandang banyak pihak terlalu lembek daripada partai yang dipimpinnya. Ini celah Presiden SBY. Sikap terlalu terbuka terhadap konsensus justru menjebak Presiden SBY.
Bagi Prabowo dilematis. Di satu sisi Prabowo sadar membuka konsensus bisa berujung jatuh di lubang yang sama. Namun di sisi lain, negatifnya justru lebih banyak bila menutup pintu. Maka ketika Prabowo menyepakati dari sejumlah partai koalisi, semisal PKS yang memasukkan klausul pelibatan dalam pengambilan setiap keputusan, cukup mengejutkan. Mengingat tipikalnya yang keras, tegas, ekstrim dan minim ruang kompromi.
Psikologi Komunikasi
Mendasari koalisi dengan pengalaman pemerintahan lalu, dan mengambil langkah berbeda atau membenahinya, memberikan gambaran tentang dua tipe kepemimpinan dengan pendekatan komunikasi yang berbeda. Jelas sesuatu yang menarik untuk dikaji. Lalu bagaimana dua pendekatan poros ini dipandang dari sudut komunikasi?
Untuk mencerna fenomena ini, penulis mencoba mengedepankan sisi psikologi komunikasi. Sikap PDI-P dengan “koalisi tanpa syarat” bisa bermakna sangat dalam. Sebagai bentuk penegasan sikap atau konsep diri. “Koalisi tanpa syarat” merupakan upaya PDI-P dan calon yang diusungnya untuk mengontrol secara penuh situasi. Lebih spesifik, dalam konteks konsep diri, perilaku ini lebih dekat ke kategori defensif. Perilaku defensif dalam berkomunikasi memproduksi banyak makna. John Powell dalam karya sastranya berjudul Why Am I Afraid to Tell You Who I Am membawa kita intisari penting dalam dunia kejiwaan manusia. Bahwa ketika seseorang menutup saluran komunikasi, itu jelas merupakan indikasi kuat bahwa dia sedang menyembunyikan pikiran dan perasaan.
Tapi, apakah sikap ini akan efektif seperti keinginan mulia yang melatarbelakangi? Belum tentu. Kontrol memang bisa menjamin pemerintahan akan berjalan sesuai agenda. Namun, upaya kontrol bisa berefek sebaliknya bagi jalannya pemerintahan jika tidak didukung karakter pucuk pimpinan (presiden).
Tanpa bermaksud meremehkan, Jokowi harus diakui masih sangat kuat ketergantungannya dengan kebijakan partai (baca: Megawati). Pengalaman memimpin Jakarta setakad ini pun setali tiga uang. Tak sedikit keputusan Pemprov DKI ”mental” ketika di legislatif karena belum maksimalnya komunikasi politik. Apatah lagi bicara membangun bangsa, yang mau tak mau harus bersinergi dan terbuka atas kritikan dan gagasan.
Beranjak ke poros Prabowo-Hatta, sikap keterbukaan dan konsensus yang ditempuh menarik ditunggu kelanjutannya, apakah akan terus dipertahankan saat terpilih nantinya, atau apakah ini sekedar lip service untuk menciptakan atmosfir yang comfortable bagi partai koalisi. Kasarnya, menjaga peluang untuk memenangkan kontestasi lima tahunan ini. Meski secara psikologi komunikasi perilaku membuka ruang komunikasi dipandang positif, namun sekali lagi sikap inklusif, khususnya Prabowo, tak menutup kemungkinan bisa jadi bumerang dan tersandera politik koalisi.
Karakter Pemimpin
Berdasarkan pemaparan itu, faktor kunci membangun koalisi bukanlah dengan pembatasan atau obral konsensus. Namun kembali kepada bagaimana memperlakukan konsensus tersebut. Konsensus bukanlah bencana bagi suatu pemerintahan. Kembali ke ranah komunikasi, konsensus malah sesuatu yang natural. Elemen tak terpisahkan dari diri manusia manakala ia memutuskan untuk hidup berkelompok.
Secara psikologi komunikasi, khususnya dalam model pertukaran sosial, disinggung pentingnya konsensus. Tentang model ini, Thibault dan Kelley mengasumsikan bahwa setiap individu akan sukarela memasuki dan tinggal dalam hubungan sosial hanya selama hubungan tersebut cukup memuaskan ditinjau dari segi ganjaran dan biaya. Ganjaran akibat positif yang diperoleh dari hubungan, sedang biaya lebih kepada sesuatu yang dikeluarkan untuk mempertahankan hubungan.
Hanya, konsensus harus dilengkapi dengan unsur paling vital. Sehingga konsensus yang menhendaki jalinan komunikasi transparan dan punya orientasi serta dapat dipertanggungjawabkan tersebut tidak buyar di perjalanan. Di sinilah, sebagaimana kata bijak yang pernah disampaikan Martin Luther dibutuhkan pemimpin tulen (genuine leader). Adapun karakternya “not to make consensus but to modler consensus”, yang terjemahan bebasnya kira-kira, bukan pemimpin yang membuat konsensus tetapi yang membentuk konsensus.*** (Riaupos.co)
Yuda Indra
Hanya, konsensus harus dilengkapi dengan unsur paling vital. Sehingga konsensus yang menhendaki jalinan komunikasi transparan dan punya orientasi serta dapat dipertanggungjawabkan tersebut tidak buyar di perjalanan. Di sinilah, sebagaimana kata bijak yang pernah disampaikan Martin Luther dibutuhkan pemimpin tulen (genuine leader). Adapun karakternya “not to make consensus but to modler consensus”, yang terjemahan bebasnya kira-kira, bukan pemimpin yang membuat konsensus tetapi yang membentuk konsensus.*** (Riaupos.co)
Yuda Indra
Alumnus Magister Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Jakarta
0 komentar :